Rabu, 13 November 2013

TIWAH : Upacara Kematian Dari Kalimantan Tengah

"Tiwah" | Selain upacara kematian Ngaben di Bali, ternyata ada upacara kematian yang terkenal di Kalimantan Tengah. Upacara kematian tingkat akhir ini disebut Tiwah. Biasanya Upacara Tiwah ini digelar oleh Umat Hindu Kaharingan dari Etnis Dayak selama dua bulan lamanya.
Pada Upacara Tiwah ini, keluarga akan mengorbankan Kerbau, Babi, dan Ayam. Orang yang lebih tua dalam silsilah keluarga mendapat giliran pertama untuk menombak kerbau. Dan darah segar yang mengucur dari kerbau pada Upacara Tiwah ini diyakini bisa mensucikan arwah secara supranatural.
Setelah semua hewan ternak mati, kepala hewan dipotong untuk diletakkan dalam senggaran, yaitu tempat khusus meletakan kepala hewan korban sebagai persembahan kepada arwah leluhur. sedangkan, badan hewan korban kemudian dimasak secara khusus untuk pesta di desa tersebut.
Sayangnya, Upacar Tiwah ini kini semakin langka, karena belum tentu dalam satu tahun atau dua tahun bisa ditemui upacara adat ini. Hal ini terjadi karena pelaksanaan Upacara Tiwah sangat mahal hingga bisa menghabiskan dana ratusan juta rupiah.
Garantung yang juga dikenal dengan sebutan agung atau ada juga yang menyebutnya gong, sebenarnya bentuknya mirip sekali dengan gong pada daerah lainnya khususnya daerah jawa.  Suku Dayak Kalimantan Tengah menjadikan alat musik garantung sebagai salah satu alat musik yang sakeral, hal ini dikarenakan alat musik ini biasa digunakan oleh masyarakat dayak yang memeluk agama Kaharingan pada ritual atau acara pada saat ada yang meninggal dunia.
ALAT MUSIK GARANTUNG

Sejarah Alat Musik Garantung

Ada yang mengatakan garantung mulai ada di daerah kalimantan tengah karena masuknya pengaruh budaya jawa yang di bawa oleh para pedagang yang berasal dari tanah jawa.  Hubungan antara pedagang dan masyarakat kalimantan tengah pada waktu tepatnya pada zaman Kerajaan Majapahit.  Walaupun demikian banyak juga yang beranggapan bahwa alat musik garantung datang ke pulau kalimantan karena pengaruh pedagang yang berasal dari Negara Cina, India dan Juga Melayu yang pada masa itu sangat mempengaruhi kebudayaan pada Masyarakat Suku Dayak Kalimantan.

Kesakeralan Garantung

Seperti yang diuraian pada kalimat pembuka artikel kali ini, garantung merupakan alat musik yang dipercaya sebagai alat musik yang sakeral dan mereka meyakini bahwa garantung adalah benda yang diturunkan dari Khayangan (dalam bahasa dayak disebut Lewu Tatau), garantung juga digunakan sebagai sarana dalam berkomunikasi dengan para leluhur.
Selain itu masyarakat juga memanfaatkan garantung sebagai sarana untuk memberi pengumuman kepada masyarakat luas kalau pada salah satu keluarga akan mengadakan pesta.  Dengan berbunyi garantung masyarakat di salah satu kampung akan segera mendatangi keluarga yang mengadakan pesta, bahkan biasanya warga kampung tetangga yang juga mendengar suara garantung akan menghadiri acara tersebut.
Pada saat acara Tiwah atau Acara Kematian, masyarakat dayak yang beragama Kaharingan akan memainkan garantung pada saat jenazah masih dimayamkan di rumah duka.  Mereka meyakini bahwa dengan memainkan garantung akan dapat mengantarkan roh orang yang meninggal dunia memasuki alam roh.
Dimainkan dengan irama khusus Garantung akan menjadi musik pengiring Tarian Sakral yang mereka sebut dengan nama Tarian Kanjan.  Tari Kanjang in ijuga diyakini akan dapat mengatarkan roh ke alam roh.
Garantung bukan hanya digunakan sebagai alat musik tradisional saja, namun masyarakat dayak juga menjadikannya sebagai benda yang sangat berharga, hal ini dibuktikan dengan menjadikan garantung sebagai salah satu mas kawin pada saat pemuda ingin melamar gadis pujaan hatinya.
Pada zaman dahulu pemuda diharuskan untuk memberikan garantung sebagai salah satu dari mas kawinnya, namun pada sekarang ini karena garantung bisa dikatakan sebagai benda yang terbatas, maka mas kawin yang seharusnya adalah garantung diganti dengan uang atau diuangkan, jadi tetap saja harus menggunakan garantung namun dalam bentuk uang.  Hal ini akan tertulis pada saat melakukan perjanjian pada saat acara lamaran.
Nah, karena sangat berharganya garantung di mata masyarakat suku dayak kalimantan, khususnya kalimantan tengah.  Konon dulunya garantung juga dijadikan sebagai penanda status sosial seseorang, bagi mereka yang mempunyai banyak garantung maka ia akan semakin dihormati.

Pakaian Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah


Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras ini ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.

Model busananya sangatlah sederhana dan semata mata hanya untuk menutupi badan. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang ketika dikenakan bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda (warna asli kayu), tak diberi hiasan, tak pula diwarnai sehingga kesannya sangat alamiah.

Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan salutup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang terbuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang berasal dari limbah keseharian mereka. Kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warna warni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.

Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit dan warna merah dari buah rotan. Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya yang menjadi corak hiasan busana adat mereka. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, juga mempunyai makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan berbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya yang bermakna sangat filosofis.

Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang garing. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacara penting - misalnya upacara tiwah (dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya), upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat diharuskan mengenakan pakaian adat dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat yang berbeda beda untuk perempuan dan laki laki serta beda pula untuk para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku dan ahli pengobatan.


Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, rumput rumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.


Contoh pakaian adat dayak ngajunya seperti di bawah ini :
Pakaian Adat Dayak Ngaju = 1 juta Rupiah!

Pakaian adat dayak ngaju beserta pedang (mandau) dan perisai (taliwang)
Kemudian, ketika orang-orang Cina dan India datang ke Kalimantan, mereka memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik sehingga melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju yang terbuat dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manik manik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain.Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum atau cendera mata.


Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Awalnya para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. Oleh karena itu busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum tari saat ini kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah dalam berbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau.

Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang. Kira kira seperti ini deh :

Pedangnya asli loh!

Pakaian Daerah Kalimantan Tengah versi modern-nya

Pakaian Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah


Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras ini ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.

Model busananya sangatlah sederhana dan semata mata hanya untuk menutupi badan. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang ketika dikenakan bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda (warna asli kayu), tak diberi hiasan, tak pula diwarnai sehingga kesannya sangat alamiah.

Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan salutup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang terbuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang berasal dari limbah keseharian mereka. Kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warna warni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.

Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit dan warna merah dari buah rotan. Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya yang menjadi corak hiasan busana adat mereka. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, juga mempunyai makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan berbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya yang bermakna sangat filosofis.

Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang garing. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacara penting - misalnya upacara tiwah (dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya), upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat diharuskan mengenakan pakaian adat dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat yang berbeda beda untuk perempuan dan laki laki serta beda pula untuk para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku dan ahli pengobatan.


Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, rumput rumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.


Contoh pakaian adat dayak ngajunya seperti di bawah ini :
Pakaian Adat Dayak Ngaju = 1 juta Rupiah!

Pakaian adat dayak ngaju beserta pedang (mandau) dan perisai (taliwang)
Kemudian, ketika orang-orang Cina dan India datang ke Kalimantan, mereka memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik sehingga melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju yang terbuat dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manik manik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain.Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum atau cendera mata.


Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Awalnya para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. Oleh karena itu busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum tari saat ini kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah dalam berbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau.

Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang. Kira kira seperti ini deh :

Pedangnya asli loh!

Pakaian Daerah Kalimantan Tengah versi modern-nya

SEKILAS MUSIK TRADISI KALIMANTAN TENGAH

Seni musik memegang peranan penting dalam hidup keseharian SukuDayak, terlebih dimasa dahulu. Pewarisan budaya yang lebih dikenal dengan istilah Tetek Tanum, terkadang menggunakan kecapi sebagai sarana. Tetek
Tanum adalah cara bercerita dengan kalimat berirama tentang asal usul
nenek moyang, sejarah masa lalu suku, tentang kepahlawanan pada
generasi penerus.

Dalam setiap upacara adat, pesta pernikahan, acara kematian, suara musik
dalam bentuk Gandang Garantung. Musik Gandang Garantung adalah
gabungan dari suara beberapa alat musik yaitu buah gandang atau kendang
yang dimainkan oleh satu orang. Garantung atau gong berjumlah lima buah,
tiga gong dimainkan oleh seorang dan dua lainnya dimainkan oleh orang
yang berbeda.

Pada umunya Suku Dayak gemar melantunkan ungkapan hati dan
perasaan , kisah-kisah kehidupan dan kepahlawanan sukunya dengan
kalimat berirama. Ekspresi kalimat yang dilantunkan dengan irama lagu
berbeda, misaknya Sansana Kayau memiliki irama lagu tertentu, begitu
pula Mohing Asang, Ngendau dan sebagainya.

Namun dari awal hingga akhir irama tersebut monoton dan diiringi
musik kecapi. Nyaris dalam setiap upacara adat dilengkapi dengan tradisi
tersebut.

Mansana Kayau
Mansana Kayau ialah kisah kepahlawanan yang dilagukan.
Biasanya dinyanyikan bersaut-sautan dua sampai empat orang,
baik perempuan ataupun laki-laki.

Mansana Kayau Pulang
Mansana Kayau pulang ialah kisah yang dinyanyikan pada waktu malam
sebelum tidur oleh para orang tua kepada anak dan cucunya dengan
maksud membakar semangat anak turunannya untuk membalas dendam
kepada Tambun Bupati yang telah membunuh nenek moyang mereka

Karungut
Karungut ialah sejenis pantun yang dilagukan. Dalam berbagai acara
karungut sering dilatunkan, misalnya pada acara penyambutan tamu yang
dihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan rasa bahagia diungkapkan
dalam bentuk karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata pada akhir
kalimat namun terkadang juga tidak. Untuk mengamati cara tutur orang
Dayak dalam mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan dalam
Bahasa Indonesia dibuat dalam sebagaimana adanya kata per kata.

Mohing Asang
Mohing Asang ialah nyanyian perang. Bila panglima telah membunyikan
salentak tujuh kali, kemudian terdengar nyanyian Mohing Asang, itu
berarti sebuah perintah untuk menyerang dan maju.

Ngendau
Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para
remaja baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan.

Kalalai-lalai
Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mama
di daerah Kotawaringin.

Natum
Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan .

Natum Pangpangal
Natum Pangpangal ialah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi
kematian anggota keluarga yang dilagukan.

Dodoi
Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit.

Dondong
Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi.

Marung
Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.

Ngandan
Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang
ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih
sayang.

Mansana Bandar
Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama seorang
tokoh yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan
diyakini bahwa tokoh Bandar bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini
orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar. Keharuman
namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik dan menarik,
disamping memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya. Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar
ini, namun dengan versi yang berbeda-beda.

Karunya
Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan
kepada Ranying Hatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara
pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.

Baratabe
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.

Kandan
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik
oleh laki-laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta
yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-
kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan
harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini biasa
ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan
Murung, Kabupaten Barito Hulu.

Dedeo atau Ngaloak
Dedeo atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja yang berbeda,
karena Dedeo atau Ngaloak adalah tradisi Suku Dayak Dusun Tengah didaerah Barito Tengah,
Kalimantan Tengah.

Salengot
Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat
untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai
tersebut. Alat musik yang biasa terdapat di dalam kebudayaan Suku Dayak adalah
sebagai berikut

Garantung
Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari
tembaga.

Sarun
Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi
yang dihasilkan hanya lima nada.

Salung
Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
Kangkanung

Kangkanung
Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil berjumlah lima
biji, terbuat dari tembaga.

Gandang Mara
Gandang Mara ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan ukuran
setengah sampai tiga per empat meter. Bentuki silinder yang tewrbuat
dari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa yang telah di
keringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang lagi di
beri pasak.

Tari mandau berasal dari Kalimantan Tengah


Tarian Mandau Kalimantan Tengah

 

Tari MandauTarian Mandau merupakan satu dari sekian banyak jenis tari yang lahir dari kultur Budaya masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Tari Mandau Suku Dayak simbolisasi dari semangat juang masyarakat Suku Dayak dalam membela harkat dan martabatnya.

Selain menggambarkan patriotisme warga Bumi Tambun Bungai untuk menjaga tanah kelahirannya, Tari Mandau Suku Dayak Kalteng juga merupakan simbolisasi keperkasaan pria Suku Dayak Kalimantan Tengah dalam menghadapi segala macam tantangan dalam aspek kehidupan.

Dalam setiap pertunjukan atau persembahan Tari Mandau diringi alunan suara kemerduan Gandang dan Garantung bertalu kencang. Harmonisasi perangkat musik tradisional tersebut memunculkan irama penuh semangat, seolah mengajak mereka yang mendengar dan menyaksikan persembahan Tari Mandau semakin bersemangat layaknya pejuang Suku Dayak yang siap terjun ke medan juang.

Kelompok penari Tari Mandau seringkali dilengkapi dengan menggenggam Mandau pada tangan sebelah kanan, sedangkan di tangan kiri Talawang menangkis serangan musuh sebagai tameng kokoh suku Dayak juga tampil menyempurnakan Tari Mandau Suku Dayak yang ditampilkan. 
 

Tari Pesisir atau Garapan

CIRI GERAK TARI DAYAK KALIMANTAN KALTENG

Tari merupakan bahasa komunikasi dari tubuh kepada penonton ( body languarge ), merupakan bentuk ekspresi dari rangsang penciptaan. Rangsang penciptaan merupakan sesuatu yang bisa membangkitkan pikir. Dalam tari tradisional, nilai - nilai magis dan sakral selalu sangat berpengaruh terhadap rasa yang mempengaruhi gerak dan secara visual berpengaruh pula terhadap orang – orang di sekitarnya hingga menjadi bagian dari ritualisme tersebut. Problem of Arts mengatakan bahwa: bentuk ekspresif itu ialah bentuk yang di ungkapkan manusia, untuk di nikmati dengan rasa. Pada buku Fajar Kebudayaan dikatakan bahwa: tari telah mencapai tingkat kesempurnaan yang belum tercapai oleh seni atau ilmu pengetahuan lainnya.

1. Tari Tradisional Dayak adalah Semua Tari Dayak yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang dan bertumpu pada nilai-nilai tradisional yang masih ada. Curt Sahch ( ahli sejarah musik dan sejarah tari dari Jerman yang bermukim di Amerika Serikat ) dalam bukunya berjudul World History Of The Dance mengemukakan bahwa; perkembangan tari sebagai seni yang tinggi telah ada pada zaman prasejarah.
2. Sedangkan Tari Kreasi Dayak adalah: Ungkapan tari yang tidak berpijak pada aturan tradisi yang telah ada / baku dengan berorientasi pada dasar gerak dari tari tradisional Dayak yang di tata secara Koreografis.

Tari Tradisional Dayak di bagi berdasarkan fungsinya menjadi dua jenis:

Tari Adat dan Tari Rakyat.
1.1. Tari Adat adalah semua tarian tradisional Dayak yang belum tergarap dan masih monoton baik dari gerak tarinya maupun musiknya dan mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Contohnya: Tari Pedang Mualang dan Tari Ayun Pala’ ( Dayak Mualang ), Tari Hudo’ ( Dayak Kayaan Mendalam ), dll.
1.2. Tari Rakyat Adalah tari yang mengungkapkan kehendak rakyat. Misalnya: Ngajat ( Ibanic Group: Iban, Mualang, Kantuk, Ketungau, Bugau, Seberuang, Desa, Banyur dll Dayak berbahasa Benadai )

Di Kalimantan kalteng Tari Dayak terbagi menjadi dua pola garapan;
1. Tari Tradisional Dayak
2. Tari Kreasi Dayak.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Tari Tradisional Dayak adalah Semua Tari Dayak yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang dan bertumpu pada nilai-nilai tradisional yang masih ada. Curt Sahch ( ahli sejarah musik dan sejarah tari dari Jerman yang bermukim di Amerika Serikat ) dalam bukunya berjudul World History Of The Dance mengemukakan bahwa; perkembangan tari sebagai seni yang tinggi telah ada pada zaman prasejarah.

2. Sedangkan Tari Kreasi Dayak adalah: Ungkapan tari yang tidak berpijak pada aturan tradisi yang telah ada / baku dengan berorientasi pada dasar gerak dari tari tradisional Dayak yang di tata secara Koreografis.

Tari Tradisional Dayak di bagi berdasarkan fungsinya menjadi dua jenis:

Tari Adat dan Tari Rakyat.
1.1. Tari Adat adalah semua tarian tradisional Dayak yang belum tergarap dan masih monoton baik dari gerak tarinya maupun musiknya dan mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Contohnya: Tari Pedang Mualang dan Tari Ayun Pala’ ( Dayak Mualang ), Tari Hudo’ ( Dayak Kayaan Mendalam ), dll

Tari Iseng Mulang

tari isen mulang adalah istilah yang dipakai orang-orang dayak yang artinya ELA BULI MANGGETU HINTING BUNU PANJANG ISENK MENETES RANTAI KAMARA AMBU.salah satu ditampilkan yaitu karungut.

Orang tak lagi memandang budaya dan warisan Datu Hiang sebagai sesuatu yang sakral. Modernisasi terasa semakin menggerus primordialisme. Kini, suara garantung dan syair karungut hanya terdengar lamat-lamat. Generasi muda Dayak dapat dihitung dengan jari yang peduli dengan warisan budayanya. Pertahanan budaya hanya ditopang oleh kaum tua. Kalteng masih beruntung memiliki agama Kaharingan, karena sebagian besar hanya umat Kaharinganlah yang secara konsisten menjalankan warisan budaya Dayak melalui berbagai upacara adat.Karungut adalah salah satu kesenian tradisional yang sangat komunikatif, karena pesan-pesan yang disampaikan berbentuk pantun dalam bahasa daerah Dayak dan mudah dimengerti penontonnya. Karungut diiringi alat musik kecapi, gong dan lainnya. bisa pakai band atau organ. Karungut semacam sastra lisan nusantara untuk

Rabu, 06 November 2013

rumah adat kalimantan tengah

Rumah Adat Kalimantan tengah

Rabu, 20 Maret 2013 0 komentar

Rumah Betang (Kalimantan Tengah)



                Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).

                 Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.

                Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.