Seni dan Budaya Kalimantan Tengah
Rabu, 18 Desember 2013
Tari Isen Mulang
Orang tak lagi memandang budaya dan warisan Datu Hiang sebagai sesuatu yang sakral. Modernisasi terasa semakin menggerus primordialisme. Kini, suara garantung dan syair karungut hanya terdengar lamat-lamat. Generasi muda Dayak dapat dihitung dengan jari yang peduli dengan warisan budayanya. Pertahanan budaya hanya ditopang oleh kaum tua. Kalteng masih beruntung memiliki agama Kaharingan, karena sebagian besar hanya umat Kaharinganlah yang secara konsisten menjalankan warisan budaya Dayak melalui berbagai upacara adat.Karungut adalah salah satu kesenian tradisional yang sangat komunikatif, karena pesan-pesan yang disampaikan berbentuk pantun dalam bahasa daerah Dayak dan mudah dimengerti penontonnya. Karungut diiringi alat musik kecapi, gong dan lainnya. bisa pakai band atau organ. Karungut semacam sastra lisan nusantara untuk
Rabu, 13 November 2013
TIWAH : Upacara Kematian Dari Kalimantan Tengah
"Tiwah" | Selain upacara kematian Ngaben di Bali, ternyata ada
upacara kematian yang terkenal di Kalimantan Tengah. Upacara kematian
tingkat akhir ini disebut Tiwah. Biasanya Upacara Tiwah ini digelar oleh Umat Hindu Kaharingan dari Etnis Dayak selama dua bulan lamanya.
Pada Upacara Tiwah ini, keluarga akan mengorbankan Kerbau, Babi, dan
Ayam. Orang yang lebih tua dalam silsilah keluarga mendapat giliran
pertama untuk menombak kerbau. Dan darah segar yang mengucur dari kerbau
pada Upacara Tiwah ini diyakini bisa mensucikan arwah secara
supranatural.
Setelah semua hewan ternak mati, kepala hewan dipotong untuk diletakkan dalam senggaran,
yaitu tempat khusus meletakan kepala hewan korban sebagai persembahan
kepada arwah leluhur. sedangkan, badan hewan korban kemudian dimasak
secara khusus untuk pesta di desa tersebut.
Sayangnya, Upacar Tiwah ini kini semakin langka, karena belum tentu
dalam satu tahun atau dua tahun bisa ditemui upacara adat ini. Hal ini
terjadi karena pelaksanaan Upacara Tiwah sangat mahal hingga bisa
menghabiskan dana ratusan juta rupiah.
Garantung yang juga dikenal dengan sebutan agung atau ada juga
yang menyebutnya gong, sebenarnya bentuknya mirip sekali dengan gong
pada daerah lainnya khususnya daerah jawa. Suku Dayak Kalimantan Tengah
menjadikan alat musik garantung sebagai salah satu
alat musik yang sakeral, hal ini dikarenakan alat musik ini biasa
digunakan oleh masyarakat dayak yang memeluk agama Kaharingan pada
ritual atau acara pada saat ada yang meninggal dunia.
Selain itu masyarakat juga memanfaatkan garantung sebagai sarana untuk memberi pengumuman kepada masyarakat luas kalau pada salah satu keluarga akan mengadakan pesta. Dengan berbunyi garantung masyarakat di salah satu kampung akan segera mendatangi keluarga yang mengadakan pesta, bahkan biasanya warga kampung tetangga yang juga mendengar suara garantung akan menghadiri acara tersebut.
Pada saat acara Tiwah atau Acara Kematian, masyarakat dayak yang beragama Kaharingan akan memainkan garantung pada saat jenazah masih dimayamkan di rumah duka. Mereka meyakini bahwa dengan memainkan garantung akan dapat mengantarkan roh orang yang meninggal dunia memasuki alam roh.
Dimainkan dengan irama khusus Garantung akan menjadi musik pengiring Tarian Sakral yang mereka sebut dengan nama Tarian Kanjan. Tari Kanjang in ijuga diyakini akan dapat mengatarkan roh ke alam roh.
Garantung bukan hanya digunakan sebagai alat musik tradisional saja, namun masyarakat dayak juga menjadikannya sebagai benda yang sangat berharga, hal ini dibuktikan dengan menjadikan garantung sebagai salah satu mas kawin pada saat pemuda ingin melamar gadis pujaan hatinya.
Pada zaman dahulu pemuda diharuskan untuk memberikan garantung sebagai salah satu dari mas kawinnya, namun pada sekarang ini karena garantung bisa dikatakan sebagai benda yang terbatas, maka mas kawin yang seharusnya adalah garantung diganti dengan uang atau diuangkan, jadi tetap saja harus menggunakan garantung namun dalam bentuk uang. Hal ini akan tertulis pada saat melakukan perjanjian pada saat acara lamaran.
Nah, karena sangat berharganya garantung di mata masyarakat suku dayak kalimantan, khususnya kalimantan tengah. Konon dulunya garantung juga dijadikan sebagai penanda status sosial seseorang, bagi mereka yang mempunyai banyak garantung maka ia akan semakin dihormati.
Sejarah Alat Musik Garantung
Ada yang mengatakan garantung mulai ada di daerah kalimantan tengah karena masuknya pengaruh budaya jawa yang di bawa oleh para pedagang yang berasal dari tanah jawa. Hubungan antara pedagang dan masyarakat kalimantan tengah pada waktu tepatnya pada zaman Kerajaan Majapahit. Walaupun demikian banyak juga yang beranggapan bahwa alat musik garantung datang ke pulau kalimantan karena pengaruh pedagang yang berasal dari Negara Cina, India dan Juga Melayu yang pada masa itu sangat mempengaruhi kebudayaan pada Masyarakat Suku Dayak Kalimantan.Kesakeralan Garantung
Seperti yang diuraian pada kalimat pembuka artikel kali ini, garantung merupakan alat musik yang dipercaya sebagai alat musik yang sakeral dan mereka meyakini bahwa garantung adalah benda yang diturunkan dari Khayangan (dalam bahasa dayak disebut Lewu Tatau), garantung juga digunakan sebagai sarana dalam berkomunikasi dengan para leluhur.Selain itu masyarakat juga memanfaatkan garantung sebagai sarana untuk memberi pengumuman kepada masyarakat luas kalau pada salah satu keluarga akan mengadakan pesta. Dengan berbunyi garantung masyarakat di salah satu kampung akan segera mendatangi keluarga yang mengadakan pesta, bahkan biasanya warga kampung tetangga yang juga mendengar suara garantung akan menghadiri acara tersebut.
Pada saat acara Tiwah atau Acara Kematian, masyarakat dayak yang beragama Kaharingan akan memainkan garantung pada saat jenazah masih dimayamkan di rumah duka. Mereka meyakini bahwa dengan memainkan garantung akan dapat mengantarkan roh orang yang meninggal dunia memasuki alam roh.
Dimainkan dengan irama khusus Garantung akan menjadi musik pengiring Tarian Sakral yang mereka sebut dengan nama Tarian Kanjan. Tari Kanjang in ijuga diyakini akan dapat mengatarkan roh ke alam roh.
Garantung bukan hanya digunakan sebagai alat musik tradisional saja, namun masyarakat dayak juga menjadikannya sebagai benda yang sangat berharga, hal ini dibuktikan dengan menjadikan garantung sebagai salah satu mas kawin pada saat pemuda ingin melamar gadis pujaan hatinya.
Pada zaman dahulu pemuda diharuskan untuk memberikan garantung sebagai salah satu dari mas kawinnya, namun pada sekarang ini karena garantung bisa dikatakan sebagai benda yang terbatas, maka mas kawin yang seharusnya adalah garantung diganti dengan uang atau diuangkan, jadi tetap saja harus menggunakan garantung namun dalam bentuk uang. Hal ini akan tertulis pada saat melakukan perjanjian pada saat acara lamaran.
Nah, karena sangat berharganya garantung di mata masyarakat suku dayak kalimantan, khususnya kalimantan tengah. Konon dulunya garantung juga dijadikan sebagai penanda status sosial seseorang, bagi mereka yang mempunyai banyak garantung maka ia akan semakin dihormati.
Pakaian Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah
Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras ini ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.
Model busananya sangatlah sederhana dan semata mata hanya untuk menutupi badan. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang ketika dikenakan bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda (warna asli kayu), tak diberi hiasan, tak pula diwarnai sehingga kesannya sangat alamiah.
Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan salutup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang terbuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang berasal dari limbah keseharian mereka. Kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warna warni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.
Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit dan warna merah dari buah rotan. Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya yang menjadi corak hiasan busana adat mereka. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, juga mempunyai makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan berbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya yang bermakna sangat filosofis.
Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang garing. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacara penting - misalnya upacara tiwah (dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya), upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat diharuskan mengenakan pakaian adat dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat yang berbeda beda untuk perempuan dan laki laki serta beda pula untuk para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku dan ahli pengobatan.
Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, rumput rumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.
Pakaian Adat Dayak Ngaju = 1 juta Rupiah! |
Pakaian adat dayak ngaju beserta pedang (mandau) dan perisai (taliwang) |
Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Awalnya para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. Oleh karena itu busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum tari saat ini kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah dalam berbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau.
Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang. Kira kira seperti ini deh :
Pedangnya asli loh! |
Pakaian Daerah Kalimantan Tengah versi modern-nya |
Pakaian Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah
Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras ini ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.
Model busananya sangatlah sederhana dan semata mata hanya untuk menutupi badan. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang ketika dikenakan bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda (warna asli kayu), tak diberi hiasan, tak pula diwarnai sehingga kesannya sangat alamiah.
Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan salutup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang terbuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang berasal dari limbah keseharian mereka. Kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warna warni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.
Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit dan warna merah dari buah rotan. Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya yang menjadi corak hiasan busana adat mereka. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, juga mempunyai makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan berbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya yang bermakna sangat filosofis.
Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang garing. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacara penting - misalnya upacara tiwah (dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya), upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat diharuskan mengenakan pakaian adat dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat yang berbeda beda untuk perempuan dan laki laki serta beda pula untuk para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku dan ahli pengobatan.
Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, rumput rumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.
Pakaian Adat Dayak Ngaju = 1 juta Rupiah! |
Pakaian adat dayak ngaju beserta pedang (mandau) dan perisai (taliwang) |
Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Awalnya para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. Oleh karena itu busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum tari saat ini kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah dalam berbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau.
Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang. Kira kira seperti ini deh :
Pedangnya asli loh! |
Pakaian Daerah Kalimantan Tengah versi modern-nya |
Langganan:
Postingan (Atom)